Kalidawir
adalah salah satu desa di Kabupaten Tulunggaung. Kalidawir berasal dari Bahasa
Jawa, Kali yang memiliki makna sungai dan Dawir yang memiliki
makna sobek. Namun banyak orang yang mengatakan bahwa Desa Kalidawir dianggap
desa yang primitif dan sering terjadi kekeringan. Hal ini bertolak belakang
dengan makna suku kata kali yang merupakan tempat berkumpulnya air.
Tetapi asumsi masyarakat mengenai Desa Kalidawir hanyalah sebuah mitos.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Abdul Mukhosis seorang Direktur Yayasan Cendikia
Nusantara yang menaungi beberapa cabang organisasi salah satunya LESHUTAMA,
mengatakan bahwa daerah Kalidawir pada faktanya memiliki banyak sumber mata air
yang tersebar merata di beberapa titik. Asumsi masyarakat yang mengatakan
Kalidawir sering mengalami kekurangan air seakan-akan dibantah oleh Abdul
Mukhosis melalui penelitiannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan faktanya
daerah yang sering mengalami kekurangan air adalah daerah Winong. Winong adalah
daerah yang terletak di sebelah selatan Kalidawir. Daerah ini memiliki sumber
mata air yang sedikit, selain itu air yang terdapat di Winong berwarna coklat
kekeruhan. Sehingga tidak layak untuk dikonsumsi oleh warga sekitar.
Pada
zaman dahulu di daerah Kalidawir terdapat Kadipaten Betak yang diasumsikan oleh
masyarakat sebagai Desa Joho (sekarang). Kadipaten ini memiliki sumber mata air
yang cukup banyak, salah satunya adalah Pakirtan, yakni tempat penyucian diri
yang digunakan masyarakat pada saat itu. Di sekitar Kadipaten Betak terdapat
flora dan fauna yang beragam. Selain itu, juga terdapat banyak situs, misalnya
arca, batu bata tumpuk, pemakaman dan candi ampel yang
memiliki potensi wisata yang besar. Selain Pakirtan, sumber mata air
yang berpotensi adalah Ngumbul Banyak Bang. Namun pada saat itu, kondisi Ngumbul
Banyak Bang masih sangat kumuh dan banyak sampah, sehingga kualitas air tidak
layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat sekitar. Melihat potensi air yang bagus
namun tidak terurus, Abdul Mukhosis berinisiatif untuk memanfaatkan potensi
lokal tersebut untuk kepentingan
masyarakat sekitar.
Saya ingin membersihkan tempat di sekitar Ngumbul Banyak Bang yang
penuh dengan sampah, sehingga sumber mata air itu bisa dimanfaatkan oleh
masyarakat. Kalau berpotensi kenapa gak ?. Selain itu, masyarakat supaya
terhindar dari bahaya bahan kimia yang ditimbulkan dari tumpukan sampah
(wawancara; Abdul Mukhosis, 23 Februari 2015).
Penelitian
yang diawali pada akhir tahun 2013 ini menghasilkan manfaat yang tidak sedikit.
Langkah awal yang dilakukan adalah babat alas sekitar mata air Ngumbul Banyak
Bang. Babat alas ini dilakukan oleh para pemuda setempat dengan sistem gotong
royong. Namun berhasil tidaknya sangat bergantung pada keberhasilan menanamkan
semangat ini kepada generasi muda (Kompas, 31 Mei 2013). Setelah empat bulan
penelitian dilakukan, sumber mata air Ngumbul Banyak Bang dapat difungsikan
secara normal, salah satu fungsinya adalah menyalurkan air tersebut ke daerah
Winong, yang selama ini kesulitan mencari sumber mata air yang bersih. Setelah
mata air Ngumbul Banyak Bang mendapat respon yang baik dari masyarakat, Yayasan
Cendekia Nusantara ini meresmikan cabang organisasinya, yakni LESHUTAMA
(Lestarikan Hutan dan Penyelamatan Sumber Mata Air) untuk mengelolanya dan bekerjasama
dengan warga setempat.
Tujuan
dari pembentukan LESHUTAMA ini bukan semata-mata untuk gerakan penyelamatan sumber
mata air, namun ada tujuan yang lain, yakni mewujudkan kader yang peduli dan
peka terhadap lingkungan dan menginspirasi serta memotivasi pemuda untuk
memanfaatkan potensi lokal (wawancara, Abdul Mukhosis, 23 Februari 2015).
Setelah
sumber mata air Ngumbul Banyak Bang difungsikan dan diresmikan, warga Winong
sudah memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan air yang bersih yang siap
untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari serta kehidupan warga Winong
berlangsung lebih baik daripada sebelumnya. Berkat kearifan lokal, mereka dapat
melangsungkan kehidupannya bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan
(Permana, 2010:2-3)
Daftar pustaka: Permana, Cecep Eka. 2010. Kearifan Lokal
Masyarakat Baduy Dalam Mengatasi Mitigasi Bencana. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar